Warga Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan tumpah ruah memadati area Situ Balong Dalem pada upacara Kawin Cai yang digelar Kamis (6/10).
Upacara adat yang sudah berusia ratusan tahun itu diawali dengan pengambilan air Tirtayatra dari hulu cai (mata air) Situ Balong Dalem oleh dua orang punggawa desa atas restu kuncen setempat. Setelah air dimasukkan ke sebuah kendi, dilanjutkan dengan upacara Mapag Cai, yaitu kendi yang berisi air Tirtayatra itu dibawa menuju sumber mata air Kramat Cikembulan atau yang lebih dikenal dengan Balong Cibulan di Desa Manis Kidul yang jaraknya mencapai 5 kilometer.
Percampuran air Tirtayatra dan Cikembulan dalam wadah kendi tersebut, kemudian diarak kembali ke Setu Balong Dalem untuk dialirkan bersama di sumber mata air Balong Dalem.
Ada yang menarik dari prosesi pengaliran air di hulu sungai Balong Dalem tersebut. Mula-mula air dari sumur keramat Cikembulan tadi diserahkan kepada sesepuh desa Babakanmulya yang dilakukan di depan Batu Kawin yang berdekatan dengan hulu sungai.
Selanjutnya air tadi dibawa oleh sesepuh desa untuk dialirkan ke hulu sungai Tirtayatra yang sebelumnya dikumandangkan adzan dilanjut iqomat oleh tokoh agama desa setempat secara bersama-sama. Akhirnya, prosesi Kawin Cai pun dilakukan oleh sesepuh desa disaksikan oleh para pejabat Muspika, tokoh masyarakat setempat serta ratusan warga.
Tidak semua air keramat tersebut dialirkan di sumber mata air Balong Dalem, namun sebagian disiramkan kepada beberapa tokoh masyarakat yang bertugas mengatur pengairan menuju enam desa yang teraliri oleh sumber mata air Tirtayatra yaitu Desa Babakanmulya, Jalaksana, Sadamantra, Padamenak, Nanggerang dan Desa Ciniru. Tak hanya itu, air yang tersisa pun menjadi rebutan warga setempat yang berharap berkah dari air keramat tersebut.
Sesepuh Desa Babakanmulya, Ahmud, Kepada Info Kuningan mengungkapkan, ritual Kawin Cai ini merupakan tradisi leluhur masyarakat Babakanmulya yang sudah berlangsung turun temurun. Ritual ini selalu diselenggarakan hari Kamis Wage malam Jumat Kliwon pada bulan Rowah yang biasanya jatuh pada bulan September atau Oktober.
“Waktunya selalu hari Kamis malam Jumat Kliwon pada bulan Rowah dan harus sesudah Dzuhur. Tradisi ini dilaksanakan pada saat musim kemarau seperti sekarang untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi limpahan air untuk mengairi lahan pertanian dan sumber kehidupan lainnya,” ujar Ahmud.
Dijelaskan Ahmud, konon lokasi dilaksanakannya Kawin Cai di sumber mata air Tirtayatra merupakan tempat perkawinan Resi Makandria dari Kerajaan Tirtawulan (Cibulan) dengan Pwah Sanghiyang Sri dari Kerajaan Kainderaan. Oleh karena itu prosesi Kawin Cai yaitu dialirkannya air kendi percampuran air Tirtayatra dengan air Cikembulan pun dilakukan di sumber mata air yang terdapat dua batu besar bernama Batu Kawin.
Diakhir acara tradisi kawin cai, digelar acara makan bersama seluruh lapisan masyarakat baik dari enam desa penerima manfaat mata air Tirtayatra tadi maupun masyarakat luar. Menurut Ahmud, acara ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan air yang telah menghidupi masyarakat setempat yang kemudian dinyatakan dalam kegiatan berbagi atas hasil bumi yang diperoleh. (MC Kuningan/Yudi)